Tentang Sebuah Janji

“Pantesan aja dia slalu setia standby di status-statusmu, kamunya cantik sih.” Begitulah yang aku ingat tentang perkenalanku dengan pemilik akun facebook yang memasang foto profil wanita berjilbab biru itu. Mulai dari selalu ngasih jempol sampai selalu ngabsen nulis komentar di setiap statusnya. Itulah yang selalu aku lakukan, begitupun dia. Sepertinya ada sebuah chemistry antara kami berdua, hingga kami berdua begitu nyaman saat bersama.

Bermula dari perbincangan yang biasa-biasa saja, lalu menjurus sedikit ke memberi perhatian, gombal-gombalan, hingga akhirnya terbitlah rindu pada hati kami berdua jika kami tak bertegur sapa dalam waktu yang lama. Bahkan tidak untuk waktu yang lama, semenit tanpanya pun hatiku selalu mencari.
“Sedang apa dia?"

"Di mana?"

"Dengan siapa?”

Begitulah yang dilakukan hatiku, selalu bertanya. Persis seperti rengekan anak lima tahun yang selalu bertanya kepada ayahnya kapan dia dibelikan sepeda baru.

Semuanya mengalir begitu saja, hampir tanpa terdengar suara berisik dari pijakan telapak kaki kami dalam menapaki aliran cerita cinta kami. Sepertinya pepatah jawa itu memang benar adanya, ‘witing tresno jalaran soko kulino.” Cinta tumbuh karena terbiasa.

Dulu pepatah ini mungkin banyak berlaku, apalagi saat masa-masa perjodohan masih santer dilakukan. Seorang wanita dan seorang lelaki, tanpa melalu perkenalan yang lama, bahkan hanya dengan bertemu sekali saja. Lalu orang tua mereka berdua sepakat untuk melaksanakan ijab kabul untuk menyatukan mereka di dalam sebuah ikatan pernikahan.

Kalo dipikir pada masa sekarang, semua itu bullshit, tetapi pada kenyataanya pernikahan mereka langgeng sampe kakek nenek, bahkan sampai di antara keduanya harus mengakhiri cerita hidupnya karna kematian.

Begitupun dengan aku dan dia. Terbiasalah yang menjadi alasan dari adanya hubungan cinta ini. Bukan karna aku tampan atau dia cantik, karna memang aku tak tampan, tetapi dia memang benar seorang wanita yang cukup cantik. Terkadang aku cukup heran, mengapa kami pernah membuat sebuah janji untuk bisa terus bersama. Meskipun janji itu sekarang hanya tentang sebuah janji. Khususnya dia, mengapa dia mau? Andai dia melihat bagaimana aku sebenarnya di dunia nyata, mungkin dia tidak akan mau melakukannya. Apa mungkin saat itu hatinya sedang kalaf lalu khilaf mencintai lelaki sepertiku yang jauh dari sosok impian seorang wanita. Apalagi wanita seperti dia.

Sampai saat ini saat kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, pertanyaan seperti itu masih terus terpatri di sanubariku. Meski dulu sangat kusesalkan berakhirnya hubungan kami, namun lama kelamaan aku bisa ikhlas dan aku sangat bersyukur sekali sempat memilikinya, meski tak lama

Karna tak ada wanita yang cukup rupawan yang mau mencintaiku, kebanyakan hanya aku yang mencintainya dan cintaku itu hanya bertepuk sebelah tangan saja. Sebenarnya tidak begitu banyak wanita yang pernah aku cintai. Sampai saat ini aku hanya pernah mencintai empat wanita, tiga terbalas, termasuk dia dan satu tak terbalas.

Pada awalnya hubungan persahabatan kami begitu hangat. Meski aku juga mulai merasakan adanya rasa-rasa yang tak biasa saat kami berdua bersama, tetapi aku memilih untuk tidak mengungkapkanya secara langsung. Hanya tersirat pada canda-canda dan gombalan-gombalan yang sering terlontar dari jari jemariku. Aku sudah sangat berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan untuk hatiku. Itu semua karna aku tak ingin tersakiti lagi dan lagi. Maka dari itu aku tak pernah mengatakan perasaanku yang sebenarnya secara terbuka padanya.

Permainan sabar-sabaran ini akhirnya akulah yang memenangkannya. Akhirnya dia mengaku bahwa dia mulai menyukaiku. Saat bersamaku dia sangat merasa nyaman. Sehari tanpa ada aku hidupnya terasa sepi. Begitulah yang pernah dia katakan pada malam itu sepanjang ingatanku. Aku tak ingin menerimanya, karna aku merasa hubungan kami tak semudah itu untuk disatukan. Jarak dan waktu memisahkan kita cukup jauh. Apalagi saat itu aku masih sangat muda, masih berjibaku menuntut ilmu di bangku kuliah dengan biaya dari orang tua. Mana mungkin aku bisa menjemputnya? Apa aku menjempunya hanya untuk hidup susah bersamaku? Tidak, aku tidak ingin membuat dia menderita. Untuk itulah aku menolaknya.

Sebenarnya di dalam hati, aku juga mengakui bahwa aku terbiasa dengan adanya dia. Dan hari-hariku begitu sepi saat tak ada dia. Akhirnya aku meminta maaf padanya, dan tali persahabatan kami terjalin kembali. Namun lagi-lagi perasaan aneh itu kembali datang menghantui kami, hingga akhirnya aku menyerah pada paksaan cinta.

Aku mencintainya, dan aku mengatakan padanya. Begitupun dia, dia juga mencintaiku.

Kami bersama, pacaran, meski tidak pernah ketemuan.

Kisah cinta yang cukup aneh sepertinya, seperti tebak-menebak buah manggis ataupun membeli kucing dalam karung. Tapi pada saat itu kami bahagia meski pada akhirnya hubungan itu harus terakhiri dengan sebuah ego.

Hubungan kami hari ke hari makin dekat, meski ada sedikit parasit bosan yang menempel pada ikatan cinta kami. Kami sudah merencankan sebuah kerangka masa depan, meski kerangka itu harus kembali kurobohkan tanpa sempat terbangun.

Aku pernah berjanji akan menjempuntya dan melamarnya untuk menikah setelah aku sukses membangun karirku. Bahkan aku pernah membuat sebuah sketsa rumah tinggal untuk tempat tinggal kami bertiga bersama bayi kami. Atau “masih ingatkah kau dengan gambar gaun pengantin yang kau kirimkan padaku? Katamu kau ingin memakainya saat kita menikah nanti.” Ah, semua itu hanya tinggal masa lalu ya..

Beberapa bulan yang lalu foto gaun itu lengkap dengan foto-foto yang dia kirim masih tersimpan rapi dan tersembunyi di komputerku, hingga akhirnya aku memilih untuk menghapusnya.

Untuk apa?

Kami sudah tak bersama lagi.

Kalau memang pepatah “jodoh tidak akan kemana atau tulang rusuk akan menemukan siapa pemiliknya” terjadi dalam kehidupan kami berdua, itu mungkin sudah suratan. Tetapi aku tak berharap bisa hidup denganya. Yang aku harapkan, dia dapat hidup bahagia, di manapun, dan dengan siapapun nanti yang akan menjadi imam baginya.

Teruntuk sebuah janji yang pernah kita ucap, ikhlaskan. Aku sudah menganggap kau tak berhutang janji padaku begitupun kuharap dengan kau. Anggaplah semua janji itu hanya tentang sebuah janji saja tanpa perlu harus kita berdua tepati. Karna hubungan kita telah berakhir, karna kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan menetapkan jodoh bagi hamba-hambanya.

Copas dari note facebook tertanggal 6 april 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini